Jual READY 2024 Seri Komik The Great Salafusshalih

READY 2024 Seri Komik The Great Salafusshalih

Rp0

0 PRODUK TERSEDIA

Kategori: Ready Buku Edukasi Mainan Anak

Detail Produk

Berat : - gr

*KETIKA PENDAPAT MURID BERBEDA dengan SANG GURU.*


Perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah suatu hal yang lazim terjadi. Salah satunya bisa terjadi karena perbedaan landasan, sudut pandang atau penafsiran terhadap suatu dalil. Seperti yang tergambar dari sebuah kisah yang kami baca dalam kitab yang berjudul _“Manaqib Imam Syafi’i”_, karya _Imam Fakhruddin Ar-Razi._



Pernah suatu ketika di kota Madinah, seorang pedagang burung menjual seekor merpati pada seseorang. Namun sampai di rumah, si pembeli terkejut, karena merpati itu diam saja, tidak mau bersuara. Maka kembalilah dia kepada si pedagang. Protes karena merpatinya tidak bisa bersuara.



Tapi si pedagang sangat yakin dengan kualitas hewan dagangannya. Sampai-sampai dia berani bersumpah, bahwa merpati itu selama ini tidak pernah berhenti bersuara! Bila selama ini merpati itu pernah berhenti bersuara, maka dia akan menceraikan istrinya!

DHUER! Sepersekian waktu si pedagang ini sadar, ada yang terasa salah dengan sumpahnya.

Si merpati itu pasti tidur dan makan. Dan selama tidur atau makan, dia tidak mungkin bersuara! Padahal maksud si pedagang bukan seperti itu!

Dia pun cemas, istrinya otomatis tercerai dengan sumpahnya tadi.



Akhirnya dia pergi ke tempat Imam Malik, sang ulama Madinah. Setelah dia jelaskan permasalahannya, Imam Malik mengambil kesimpulan dari sudut keilmuan yang dimiliki. Dalam kasus ini, Imam Malik berpendapat bahwa si pedagang otomatis telah cerai dari istrinya…


Maka pergilah lelaki ini dengan gundah gulana. Akibat keteledoran sumpahnya, dia harus cerai dengan istrinya…



Namun tiba-tiba ada seorang pemuda belia memanggilnya. Rupanya dia salah seorang murid Imam Malik.

Pemuda ini bertanya, “Merpati yang dijual itu lebih banyak bersuara atau lebih banyak diam?”

Dijawab,”Lebih banyak bersuara.”

Sang pemuda membalas, “Bila demikian berarti istri anda belum terceraikan.”

Kemudian pemuda itu kembali ke majelis Imam Malik, dengan meninggalkan si pedagang merpati yang kebingungan…



Karena penasaran dengan jawaban tadi, kembalilah si pedagang pada Imam Malik untuk memperjelas hal ini.

“Ya Syekh, tadi salah seorang murid anda mengatakan bahwa perceraian tidaklah terjadi!”

Imam Malik membalas, “Siapa yang berkata demikian?”

“Pemuda itu, Syekh!”, dengan menunjuk ke arah seorang murid yang bernama Syafi’i.



Karena penasaran, Imam Malik meminta penjelasan dari muridnya itu, kenapa dia bisa menyimpulkan bahwa perceraian tidak terjadi?


Sang murid menjelaskan dengan berpijakan pada sebuah hadis yang pernah diriwayatkan oleh sang guru…,


“Anda telah meriwayatkan sebuah hadis, dari Abdullab bin Yazid, dari Abu Salamah bin Abdirrahman, dari Fathimah bin Qais, bahwa ia (Fathimah bin Qais) pernah datang kepada Rasulullah, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh Abu Jahm dan Muawiyah datang melamar saya. Siapakah dari keduanya yang pantas untuk menikah dengan saya?”.

Lalu Rasulullah berkata,”Muawiyah adalah orang yang miskin. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah menurunkan tongkatnya dari punggungnya (maksudnya: suka memukul).”


Dari hadis itu Syafi’i menjelaskan, bahwa Rasulullah tahu bahwa Abu Jahm melakukan aktivitas makan, minum, juga tidur. Sehingga dalam kondisi ini Abu Jahm akan meletakkan tongkatnya (Tidak akan memukul).



Dengan mencermati hadis di atas, Syafi’i menafsirkan kalimat si pedagang, bahwa merpati itu tidak pernah berhenti bersuara, bukanlah berarti terus-menerus bersuara tanpa jeda. Tetapi menunjukkan maksud bahwa merpatinya LEBIH SERING mengeluarkan suara (Sehingga bila sesekali tidak bersuara, itu adalah hal yang wajar).



Maka Syafi’i menyimpullkan bahwa si pedagang tidaklah bercerai dengan istrinya, karena dia tidak melanggar sumpahnya.



Mendengar jawaban muridnya Imam Malik pun terjelaskan dengan gamblang. Dan dia tidak menyalahkan pendapat muridnya tersebut.



Ada adab yang menarik dalam fragmen kisah di atas.

Ketika Syafi’i menjumpai fatwa pertama yang disampaikan oleh sang guru pada si pedagang, dia tidak langsung menyanggahnya di depan majelis. Dia memilih melipir menyusul setelah pedagang menjauh dari majelis. Salah satu adab dalam menjaga kemuliaan sang guru.

Namun setelah sang guru meminta Syafi’i untuk menjelaskan pendapatnya yang jelas bertentangan, barulah dia menerangkan dengan tujuan untuk menyampaikan ilmu. Dan luar biasanya sang guru tidak merasa terhina, karena dia tahu, ini adalah ilmu yang disampaikan untuk menemukan kebenaran. Tak ada prasangka, tak ada kebencian. Disampaikan dengan landasan kasih sayang sesama saudara seiman.



Fragmen-fragmen seperti itulah yang kami kisahkan ulang dalam 2 komik terbaru kami, *“The Great Salafusshalih, Imam Syafi’i”* dan *“The Great Salafusshalih, Imam Ahmad”*, dalam bahasa visual yang lebih ringan, agar anak-anak yang membacanya, atas izin Allah ikut terlembutkan hatinya, dengan meneladani akhlak para ulama salafusshalih.

Review